Wasiat Bagi Para Murid

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Langkah pertama yang harus dijejakkan oleh penempuh (al-murid) tharikat ini, adalah ia harus melangkah di atas jalan kejujuran hati yang benar, agar benar pula membangun yang berdasarkan prinsip yang shahih. Sebab para syeikh

Harus dibaca juga..

berkata, “Mereka terhalang untuk sampai kepada Allah swt. (wushul) disebabkan mereka menelantarkan prinsip-prinsip akidah (al-ushul).”

Begitupun Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Awal mula bagi penempuh adalah meluruskan akidah antara dirinya dengan Allah swt, bersih dari segala dugaan dan keserupaan, jauh dan kesesatan dan bid’ah, muncul dari bukti-bukti dan hujjah. Bagi seorang murid, menjadi cela bila mengaitkan diri pada suatu mazhab yang bukan mazhab dari thariqat ini. Tidak ada pengaitan seorang Sufi kepada suatu mazhab yang berbeda dengan thariqat kaum Sufi, kecuali menyimpulkan akan kebodohannya, tentang mazhab thariqat ini. Sebab hujjah dalam persoalan mereka (kaum Thariqah) lebih jelas dibanding hujjah siapa pun. Dan kaidah mereka lebih kuat dibanding kaidah mazhab mana pun.”

Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadis, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikiran. Sementara para syeikh golongan Sufi melampaui semuanya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu tampak gaib, namun bagi kalangan Sufi tampak jelas. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Sufi pengetahuan maujud dari Allah swt. Yang Maha Haq. Mereka adalah kalangan yang senantiasa bertemu dengan Allah swt. (ahlul wishal) sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (ahlul istidlal): Para Sufi itu sebagaimana diungkapkan penyair:
Malamku, bersama Wajah-Mu, cemerlang
Sedang kegelapan meliputi manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.

Tidak satu pun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang syeikh dari para tokoh Sufi ini, yang memiliki ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan ummat dari kalangan para ulama pada waktu itu, benar-benar telah berpasrah diri kepada syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap berkat darinya. Kalau saja tidak karena keistimewaan dan citra khusus bagi mereka, akan terjadi persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy-Syafi’y semoga Allah swt. meridhai mereka berdua datanglah Syaiban ar-Ra’y.

Ahmad bin Hanbal berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan.” Maka asy-Syafi’y berkata, “Jangan Anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya.

Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu, bila ada orang lupa akan shalatnya dan shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang alpa terhadap Allah swt. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga tidak lupa Tuannya.” Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, asy-Syafi’y berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Sufi) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”

Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy-Syibly di Masjid al-Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy-Syibly. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy-Syibly tentang masalah haid, dengan tendensi ingin mempermalukannya. Asy-Syibly menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.